Prof Agung

Prof Agung

Pemberontakan Maximianus

Pada tahun 310 M, Maximianus yang telah dicabut kekuasaannya memberontak terhadap Konstantinus ketika Konstantinus sedang melakukan kampanye melawan kaum Franka. Maximianus telah dikirim ke selatan menuju Arles dengan satu kontingen tentara Konstantinus, sebagai persiapan untuk menangkal setiap serangan dari Maxentius di Galia selatan. Ia mengumumkan bahwa Konstantinus telah gugur, dan mengambil jubah ungu kekaisaran. Meskipun menjanjikan hadiah besar bagi siapa saja yang mendukungnya sebagai kaisar, kebanyakan tentara Konstantinus tetap setia kepada kaisar mereka, dan tak lama kemudian Maximianus terpaksa pergi. Konstantinus segera mendengar pemberontakan tersebut, mengesampingkan kampanyenya terhadap kaum Franka, dan menggerakkan pasukannya ke hulu Sungai Rhein.[102] Di Cabillunum (Chalon-sur-Saône), ia memindahkan pasukannya ke dalam kapal-kapal yang telah menanti untuk menyusuri Sungai Saône yang berarus lambat menuju Sungai Rhône yang arusnya lebih cepat. Ia mendarat di Lugdunum (Lyon).[103] Maximianus melarikan diri ke Massilia (Marseille), suatu kota yang lebih mampu menahan pengepungan dalam waktu lama daripada Arles. Bagaimanapun, hal ini hanya membuat sedikit perbedaan karena para penduduk yang setia membuka gerbang belakang untuk Konstantinus. Maximianus ditangkap dan ditegur karena kejahatannya. Konstantinus memberikan sejumlah ampunan, namun sangat menganjurkan agar ia melakukan bunuh diri. Pada bulan Juli 310 M, Maximianus gantung diri.[102]

Terlepas dari perpecahan sebelumnya dalam relasi mereka, Maxentius sangat bersemangat untuk menampilkan dirinya sebagai anak yang berbakti kepada ayahnya setelah kematian Maximianus.[104] Ia mulai mencetak koin dengan gambar ayahnya yang didewakan, menyatakan hasratnya untuk membalas kematian Maximianus.[105] Konstantinus awalnya menyajikan bunuh diri tersebut sebagai suatu tragedi keluarga yang patut disayangkan. Namun, pada tahun 311 M, ia menyebarkan versi yang lain. Menurut versi ini, setelah Konstantinus mengampuninya, Maximianus merencanakan untuk membunuh Konstantinus saat tidur. Fausta mengetahui rencana tersebut dan memperingatkan Konstantinus, yang menempatkan seorang kasim di tempat tidurnya sendiri. Maximianus ditangkap ketika dia membunuh kasim tersebut dan ditawarkan untuk melakukan bunuh diri, yang ia setujui.[106] Bersamaan dengan penggunaan propaganda, Konstantinus melakukan damnatio memoriae pada Maximianus dengan menghancurkan semua inskripsi yang menyebutkan namanya dan melenyapkan segala karya umum yang mengandung citra dirinya.[107]

Kematian Maximianus menyebabkan perlunya suatu perubahan citra publik Konstantinus. Ia tidak dapat lagi mengandalkan hubungannya dengan kaisar sepuh Maximianus, dan membutuhkan suatu sumber legitimasi baru.[108] Dalam pidato yang disampaikannya di Galia pada tanggal 25 Juli 310 M, seorang orator anonim mengungkapkan suatu hubungan kedinastian yang sebelumnya tidak diketahui dengan Klaudius II, kaisar dari abad ke-3 yang terkenal karena mengalahkan suku Goth dan memulihkan ketertiban dalam kekaisaran. Pidato tersebut menekankan hak prerogatif untuk memerintah dari leluhur Konstantinus, bukan prinsip-prinsip kesetaraan imperial, sehingga melepaskan diri dari model tetrarki. Ideologi baru yang diungkapkan dalam pidato ini menjadikan Galerius dan Maximianus tidak relevan bagi hak Konstantinus untuk memerintah.[109] Orator tersebut menekankan keturunan dengan mengesampingkan semua faktor lainnya: "Tidak mungkin kesepakatan manusia, ataupun sejumlah konsekuensi persetujuan yang tak terduga, menjadikan Anda kaisar," sebagaimana dinyatakan sang orator bagi Konstantinus.[110]

Orasi tersebut juga menggeser ideologi keagamaan Tetrarki, dengan berfokus pada dinasti kembar Yupiter dan Herkules. Sang orator menyatakan bahwa Konstantinus mengalami suatu penglihatan ilahi tentang Apollo dan Viktoria yang memberikan dia bumban dafnah kesehatan dan suatu pemerintahan yang panjang. Dalam keserupaan Apollo, Konstantinus mengenali dirinya sendiri sebagai sosok penyelamat yang kepadanya diberikan "kekuasaan seluruh dunia",[111] mirip dengan yang pernah diramalkan penyair Virgil.[112] Pergeseran keagamaan yang disampaikan dalam orasi tersebut diiringi dengan pergeseran serupa dalam cetakan koin Konstantinus. Dalam masa awal pemerintahannya, cetakan koin Konstantinus mengiklankan Mars sebagai pelindungnya. Sejak tahun 310 M dan seterusnya, Mars digantikan dengan Sol Invictus, suatu dewa yang biasa diidentifikasi dengan Apollo.[113] Hanya ada sedikit alasan untuk meyakini bahwa baik hubungan kedinastian ataupun penglihatan ilahi adalah sesuatu yang lain daripada fiksi, tetapi proklamasi mereka memperkuat klaim Konstantinus atas legitimasi dan meningkatkan popularitasnya di antara warga Galia.[114]

© 2024 — Senayan Developer Community

Pada tahun 1972 PT Agung Concern mulai melakukan penjualan Toyota yang kemudian ditunjuk oleh PT Toyota Astra Motor sebagai main dealer Toyota di wilayah Surabaya dan Pekanbaru. Pada tanggal 28 Desember 1992 diadakan kesepakatan bersama untuk mengalihkan divisi trading Toyota ke PT Agung Automall, selanjutnya kedealeran Toyota sepenuhnya dioperasikan oleh PT Agung Automall, dan PT Agung Concern menjadi holding company.

Kini, kami telah berkembang menjadi dealer eksklusif utama untuk seluruh merk Toyota di provinsi Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu dan Bali. Seluruh dealer dan cabang kami telah terotorisasi serta memenuhi standar Toyota. Pada tahun 2014, kami mengubah identitas kami menjadi Agung Toyota. Kami menawarkan jaringan lengkap untuk penjualan dan purna jual yang mencakup perawatan, perbaikan dan penyediaan suku cadang Toyota.

Pemerintahan kemudian

Penyakit dan kematian

Konstantinus telah menyadari bahwa hidupnya di dunia akan segera berakhir. Di dalam Gereja Rasul Suci, Konstantinus diam-diam menyiapkan makam baginya.[260] Kenyataannya datang lebih cepat dari perkiraannya. Tidak lama setelah Hari Raya Paskah tahun 337, Konstantinus menderita sakit parah.[261] Ia meninggalkan Konstantinopel untuk mandi air panas di dekat kota ibunya, yaitu Helenopolis (Altinova), di pesisir selatan Teluk Nikomedia (sekarang Teluk İzmit). Di sana, di dalam suatu gereja yang dibangun ibunya untuk menghormati Rasul Lusianus, ia berdoa, dan di sana ia menyadari bahwa ia sedang sekarat. Ia mencari pemurnian dari dosa dan menjadi seorang katekumen, serta berusaha kembali ke Konstantinopel, walau hanya berhasil sampai daerah pinggiran kota Nikomedia.[262] Ia memanggil para uskup, dan menyampaikan kepada mereka harapannya untuk dibaptis di Sungai Yordan, tempat Yesus dibaptis sesuai yang tertulis. Ia meminta agar segera dibaptis, berjanji untuk menjalani kehidupan yang lebih Kristiani seandainya ia dapat sembuh dari penyakitnya. Menurut catatan Eusebius, para uskup "melangsungkan upacara suci sesuai kebiasaan".[263] Ia meminta uskup dari kota tempat ia terbaring sekarat, Eusebius dari Nikomedia yang cenderung mendukung Arian, sebagai pembaptisnya.[264] Mengenai penundaan pembaptisannya, hingga ia merasa layak, ia mengikuti kebiasaan pada saat itu yang menunda pembaptisan hingga melewati masa bayi.[265] Hingga sekarang Konstantinus dianggap menunda pembaptisannya selama mungkin agar dapat sebanyak-banyaknya terbebas dari dosa.[266] Tidak lama kemudian Konstantinus wafat di suatu vila di pinggiran kota yang disebut Achyron, pada hari terakhir dari lima puluh hari perayaan Pentakosta setelah Paskah, pada tanggal 22 Mei 337.[267]

Di dalam laporan Eusebius, wafatnya Konstantinus menyusul berakhirnya kampanye Persia. Bagaimanapun, kebanyakan sumber lainnya melaporkan kalau wafatnya terjadi saat kampanye tengah berlangsung. Kaisar Yulianus (keponakan Konstantinus), menulis pada pertengahan tahun 350-an, menyampaikan bahwa Kekaisaran Sasaniyah lolos dari hukuman atas perbuatan-perbuatan buruk mereka karena Konstantinus wafat "di tengah-tengah persiapan untuk perang".[268] Laporan-laporan serupa tercantum dalam Origo Constantini, sebuah dokumen anonim yang ditulis ketika Konstantinus masih hidup, dan yang mengisahkan wafatnya Konstantinus di Nikomedia;[269] Historiae abbreviatae dari Sextus Aurelius Victor, ditulis tahun 361, yang mengisahkan wafatnya Konstantinus di suatu properti di dekat Nikomedia yang disebut Achyrona ketika melakukan mars untuk melawan bangsa Persia;[270] dan Breviarium dari Eutropius, sebuah buku pedoman yang disusun pada tahun 369 untuk Kaisar Valens, yang mengisahkan wafatnya Konstantinus di suatu vila pemerintah yang tidak disebutkan namanya di Nikomedia.[271] Dari laporan-laporan ini dan yang lainnya, beberapa kalangan menganggap kalau Vita karya Eusebius telah diedit untuk mempertahankan reputasi Konstantinus dari hal-hal yang dianggap Eusebius kurang pantas terkait kampanye tersebut.[272]

Setelah wafatnya, jenazah Konstantinus dipindahkan ke Konstantinopel dan dimakamkan di Gereja Rasul Suci di sana.[273] Ia digantikan oleh ketiga putranya dari Fausta, yaitu Konstantinus II, Konstantius II, dan Konstans. Sejumlah kerabatnya dibunuh oleh para pengikut Konstantius, khususnya keponakan-keponakan Konstantinus yang bernama Dalmatius (yang berpangkat Caesar) dan Hannibalianus, diduga untuk menghilangkan potensi saingan dalam suatu suksesi yang sudah cukup kompleks. Ia juga memiliki dua putri, Konstantina dan Helena, istri Kaisar Yulianus.[274]

Meskipun Konstantinus diberi sebutan kehormatan "Agung" (bahasa Inggris: The Great; "Μέγας") oleh para sejarawan Kristiani jauh setelah wafatnya, ia dapat saja mengklaim gelar tersebut semata-mata karena berbagai kemenangan dan pencapaian militernya. Selain mempersatukan Kekaisaran di bawah kepemimpinan satu orang kaisar, ia memperoleh kemenangan-kemenangan besar atas kaum Franka dan Alemanni antara tahun 306–308, atas kaum Franka lagi antara tahun 313–314, atas kaum Goth pada tahun 332, dan atas kaum Sarmatia pada tahun 334. Pada tahun 336, Konstantinus kembali menduduki hampir seluruh provinsi Dacia yang telah lama terlepas, sejak Aurelianus terpaksa melepaskannya pada tahun 271. Pada saat wafatnya, ia sedang merencakan suatu ekspedisi besar untuk mengakhiri serangan-serangan yang dilakukan Kekaisaran Persia atas provinsi-provinsi timur.[275] Dengan total masa pemerintahan 31 tahun (gabungan masa pemerintahannya sebagai rekan-penguasa dan penguasa tunggal), ia menjadi kaisar yang paling lama menjabat sejak Augustus dan kaisar kedua yang paling lama menjabat dalam sejarah Romawi.

Dalam ranah budaya, Konstantinus memiliki kontribusi terhadap bangkitnya mode wajah yang dicukur bersih di antara para kaisar Romawi dari Augustus sampai Trajanus, yang awalnya diperkenalkan di kalangan Romawi oleh Scipio Afrikanus. Mode baru imperial Romawi itu bertahan hingga masa pemerintahan Fokas.[276][277]

Kekaisaran Bizantin memandang Konstantinus sebagai pendirinya, dan Kekaisaran Romawi Suci memperhitungkan dia di antara para figur terhormat dari tradisinya. Dalam Kekaisaran Bizantin di kemudian hari, adalah suatu kehormatan besar bagi seorang kaisar jika dipuji sebagai seorang "Konstantinus baru". Sepuluh kaisar, termasuk kaisar terakhir Kekaisaran Romawi Timur, menyandang julukan tersebut.[278] Beragam bentuk monumental Konstantinian digunakan di istana Charlemagne untuk mengesankan bahwa ia adalah penerus Konstantinus dan setara dengannya. Konstantinus mendapat suatu peran dalam mitos sebagai seorang pejuang penentang "kaum kafir". Motif ekuestrian Romanesque, figur penunggang kuda dalam postur kaisar Romawi yang berjaya, menjadi suatu metafora visual dalam patung-patung untuk memuji para dermawan daerah setempat. Nama "Konstantinus" sendiri kembali populer di Prancis barat pada abad ke-11 dan ke-12.[279] Gereja Ortodoks memandang Konstantinus sebagai seorang santo (Άγιος Κωνσταντίνος, Santo Konstantinus), yang diperingati setiap tanggal 3 September,[280] dan menyebutnya isapostolos (Ισαπόστολος Κωνσταντίνος)—orang yang setara dengan para Rasul.[281]

Bandar Udara Niš dinamai "Konstantinus Agung" untuk menghormati dirinya. Sebuah Salib besar pernah direncanakan untuk dibangun di atas bukit yang menghadap Niš, Serbia, tetapi proyek ini kemudian dibatalkan.[282] Pada tahun 2012, sebuah memorial didirikan di Niš untuk menghormatinya. Peringatan Maklumat Milan diadakan di Niš pada tahun 2013.[283]

Selama masa hidupnya dan para putranya, Konstantinus disajikan sebagai suatu teladan kebajikan. Kaum pagan seperti Praxagoras dari Athena dan Libanius melontarkan banyak pujian mengenainya. Namun, ketika yang terakhir dari para putranya wafat pada tahun 361, Yulianus yang Murtad keponakannya (dan menantunya) menulis satire Simposium, atau Saturnalia yang merendahkan Konstantinus, menyebut dia inferior dibandingkan dengan para kaisar besar pagan, serta menghubungkannya dengan kemewahan dan keserakahan.[284] Setelah Yulianus, Eunapius memulai—dan Zosimus melanjutkan—suatu tradisi penulisan sejarah yang menyalahkan Konstantinus karena memperlemah Kekaisaran melalui keberpihakannya pada kaum Kristiani.[285]

Dalam dunia Timur maupun Barat pada abad pertengahan, Konstantinus disajikan sebagai seorang penguasa yang ideal, tolok ukur setiap raja ataupun kaisar.[285] Penemuan kembali sumber-sumber anti-Konstantinian pada Abad Renaisans memicu penilaian ulang terhadap karier Konstantinus. Seorang humanis Jerman bernama Johann Löwenklau, penemu tulisan-tulisan Zosimus, memublikasikan suatu terjemahan Latin daripadanya pada tahun 1576. Dalam kata pengantarnya, ia berpendapat bahwa penggambaran Zosimus mengenai Konstantinus lebih baik daripada yang disajikan oleh Eusebius dan para sejarawan Gereja, menawarkan suatu pandangan yang lebih seimbang.[286] Kardinal Caesar Baronius, seorang tokoh Kontra Reformasi, lebih menyukai laporan Eusebius dari era Konstantinian. Kisah Hidup Konstantinus (1588) karya Baronius menyajikan Konstantinus sebagai model seorang pangeran Kristiani.[287] Dalam Sejarah Kemunduran dan Kejatuhan Kekaisaran Romawi (1776–89) karyanya, Edward Gibbon, yang bertujuan menyatukan kedua ekstrem keilmuan Konstantinian, menawarkan suatu citra Konstantinus yang dibangun berdasarkan narasi-narasi dari Eusebius dan Zosimus yang dikontraskan.[288] Dengan suatu bentuk yang menyejajarkan laporan karyanya mengenai kemunduran Kekaisaran Romawi, Gibbon menyajikan Konstantinus dalam versi seorang pahlawan perang terhormat yang dirusakkan oleh pengaruh Kristiani, yang berubah menjadi seorang diktator Oriental pada masa tuanya: "seorang pahlawan ... mengalami kemerosotan menjadi seorang penguasa yang kejam dan tak bermoral".[289]

Interpretasi modern tentang pemerintahan Konstantinus diawali dengan Zaman Konstantinus Agung (1853, rev. 1880) karya Jacob Burckhardt. Konstantinus versi Burchhardt adalah seorang sekularis licik, seorang politisi yang memanipulasi semua pihak dalam usaha untuk mengamankan kekuasaannya sendiri.[290] Henri Grégoire, menulis pada tahun 1930-an, mengikuti penilaian Burckhardt mengenai Konstantinus. Menurut Grégoire, Konstantinus menjadi berminat pada Kekristenan setelah melihat manfaatnya secara politis. Grégoire merasa skeptis dengan autentisitas Vita karya Eusebius, dan mendalilkan sebuah pseudo-Eusebius untuk memikul tanggung jawab atas narasi-narasi penglihatan dan konversi dalam karya tersebut.[291] Otto Seeck, dalam Geschichte des Untergangs der antiken Welt (1920–23), dan André Piganiol, dalam L'empereur Constantin (1932), menuliskan hal berlawanan dengan tradisi kesejarahan itu. Seeck menyajikan Konstantinus sebagai seorang pahlawan perang yang tulus, dan ambiguitasnya merupakan akibat dari inkonsistensinya yang naif.[292] Konstantinus versi Piganiol adalah seorang monoteis yang filosofis, seorang anak dari sinkretisme religius pada zamannya.[293] Riwayat-riwayat sejarah yang berkaitan karya A. H. M. Jones (Konstantinus dan Konversi Eropa, 1949) dan Ramsay MacMullen (Konstantinus, 1969) memberikan gambaran-gambaran dari seorang Konstantinus yang kurang visioner dan lebih impulsif.[294]

Laporan-laporan belakangan lebih cenderung menyajikan Konstantinus sebagai seseorang yang benar-benar melakukan konversi diri ke dalam Kekristenan. Dimulai dari Konstantinus Agung dan Gereja Kristiani (1929) karya Norman H. Baynes, dan dipertegas dengan Konversi Konstantinus dan Roma Pagan (1948) karya Andreas Alföldi, berkembang suatu tradisi kesejarahan yang menyajikan Konstantinus sebagai seorang Kristiani yang berkomitmen. Karya penting Timothy Barnes yang berjudul Konstantinus dan Eusebius (1981) merepresentasikan puncak dari tren tersebut. Konstantinus versi Barnes mengalami suatu konversi radikal, yang mendorongnya melakukan suatu perjuangan pribadi untuk mengonversi kekaisarannya.[295] Konstantinus dan Kekaisaran Kristiani (2004) karya Charles Matson Odahl memuat tema yang kurang lebih sama.[296] Terlepas dari karya tulis Barnes, argumen-argumen mengenai kekuatan dan kedalaman konversi religius Konstantinus terus berlanjut.[297] Tema-tema tertentu dalam mazhab ini mencapai ekstrem baru dalam Kekristenan Konstantinus Agung (1996) karya T.G. Elliott, yang menyajikan Konstantinus sebagai seorang Kristiani yang berkomitmen sejak ia masih anak-anak berusia dini.[298] Pandangan serupa tentang Konstantinus termuat dalam Quand notre monde est devenu chrétien, karya Paul Veyne tahun 2007, yang tidak berspekulasi seputar asal mula motivasi Kristiani Konstantinus, tetapi menyajikan dirinya, dalam perannya sebagai Kaisar, sebagai seorang revolusioner keagamaan yang sangat meyakini bahwa dirinya dimaksudkan "untuk memainkan suatu peran seturut waktunya dalam karya milenium keselamatan umat manusia".[299]

Kalangan Katolik Ritus Latin menyatakan keraguan mereka seputar pembaptisan Konstantinus menjelang wafatnya dan oleh seorang uskup yang tidak ortodoks, karena hal tersebut merusak otoritas Kepausan. Selain itu, pada awal abad keempat, sebuah legenda menyatakan bahwa Paus Silvester I (314–335) menyembuhkan sang kaisar dari penyakit kusta. Menurut legenda tersebut, Konstantinus dibaptis tidak lama setelahnya, dan mulai membangun sebuah gereja di Istana Lateran.[300] Pada abad kedelapan, kemungkinan besar pada masa kepausan Stefanus II (752–757), sebuah dokumen yang disebut Donasi Konstantinus muncul pertama kali, yang di dalamnya dinyatakan bahwa Konstantinus yang baru berpindah keyakinan menyerahkan kekuasaan temporal atas "kota Roma dan seluruh provinsi, distrik, serta kota di Italia dan wilayah Barat" kepada Silvester dan para penerusnya.[301] Pada Abad Pertengahan Tinggi, dokumen tersebut digunakan dan diterima sebagai dasar kekuasaan temporal Paus, meskipun dokumen tersebut dinyatakan palsu oleh Kaisar Otto III[302] dan dicap sebagai akar dari keduniawian kepausan oleh penyair Dante Alighieri.[303] Filolog abad ke-15 Lorenzo Valla menyatakan bahwa dokumen tersebut memang hasil pemalsuan.[304]

Pemberontakan Maxentius

Setelah pengakuan Galerius atas Konstantinus sebagai caesar, potret Konstantinus dibawa ke Roma, sesuai kebiasaan saat itu. Maxentius mencemooh subjek potret tersebut sebagai anak seorang pelacur, dan meratapi ketidakberdayaannya sendiri.[92] Maxentius, karena iri akan otoritas Konstantinus,[93] merebut gelar kaisar pada tanggal 28 Oktober 306 M. Galerius menolak mengakuinya, namun gagal menggesernya. Galerius mengirim Severus untuk melawan Maxentius, tetapi pasukan Severus, sebelumnya berada di bawah komando Maximianus (ayah Maxentius), membelot pada saat kampanye militer; Severus ditangkap dan dipenjarakan.[94] Maximianus keluar dari masa pensiunnya karena pemberontakan anaknya; ia berangkat menuju Galia untuk berunding dengan Konstantinus pada akhir tahun 307 M. Ia menawarkan Fausta putrinya kepada Konstantinus untuk dinikahi, dan mengangkatnya ke peringkat Augustan. Sebagai imbalannya, Konstantinus harus menegaskan kembali aliansi lama keluarga antara Maximianus dan Konstantius, dan mendukung perkara Maxentius di Italia. Konstantinus menyetujui, dan menikahi Fausta di Trier pada akhir musim panas tahun 307 M. Konstantinus sekarang memberikan sedikit dukungannya kepada Maxentius, memberikan Maxentius pengakuan politik.[95]

Namun, Konstantinus tetap menjauhkan diri dari konflik Italia. Selama musim semi dan musim panas tahun 307 M, ia meninggalkan Galia menuju Britania untuk menghindari keterlibatan apapun dalam gejolak Italia;[96] alih-alih memberikan bantuan militer kepada Maxentius, ia mengirim pasukannya untuk melawan suku Jermanik di sepanjang Sungai Rhein. Pada tahun 308 M, ia menyerang wilayah suku Brukteri, dan membuat sebuah jembatan yang melintasi Rhein di Colonia Agrippinensium (Köln). Pada tahun 310 M, ia bergerak menuju Rhein utara dan bertempur melawan suku Franka. Ketika tidak sedang melakukan kampanye, ia mengunjungi wilayahnya sambil mempromosikan kebaikan hatinya, serta mendukung perekonomian dan kesenian. Penolakan Konstantinus untuk berpartisipasi dalam perang meningkatkan popularitasnya di kalangan rakyatnya, dan memperkuat basis kekuasaannya di Barat.[97] Maximianus kembali ke Roma pada musim dingin tahun 307–308 M, namun segera terlibat dalam perdebatan dengan putranya. Pada awal tahun 308 M, setelah kegagalan upaya untuk merebut gelar Maxentius, Maximianus kembali ke istana Konstantinus.[98]

Pada tanggal 11 November 308 M, Galerius menghimpun suatu konsili umum di kota militer Carnuntum (Petronell-Carnuntum, Austria) untuk menyelesaikan isu ketidakstabilan di provinsi-provinsi Barat. Di antara yang hadir terdapat Diokletianus, kembali sejenak dari masa pensiunnya, Galerius, dan Maximianus. Maximianus dipaksa untuk turun takhta lagi dan Konstantinus kembali diturunkan ke peringkat Caesar. Lisinius, salah seorang kolega lama Galerius dalam militer, ditunjuk sebagai Augustus di wilayah Barat. Sistem baru tersebut tidak berlangsung lama: Konstantinus menolak demosinya, dan tetap menyebut dirinya Augustus pada uang logam yang dicetaknya, kendati anggota Tetrarki yang lain menyebutnya Caesar pada uang logam cetakan mereka. Maximinus Daia frustasi karena ia telah dilewati dalam promosi tersebut sementara Lisinius sebagai pendatang baru telah diangkat ke jabatan Augustus, dan menuntut agar Galerius mempromosikan dirinya. Galerius mengajukan penawaran untuk memanggil Maximinus maupun Konstantinus dengan sebutan "putra-putra Augusti",[99] namun tidak satupun di antara mereka menerima gelar baru itu. Pada musim semi tahun 310 M, Galerius menyebut keduanya Augusti.[100]

Pendirian Konstantinopel

Kekalahan Lisinius dianggap merepresentasikan kekalahan dari suatu pusat tandingan kegiatan politik berbahasa Yunani dan Pagan di Timur, bertentangan dengan Roma yang berbahasa Latin dan Kristiani, serta dikemukakan bahwa sebuah ibu kota Timur yang baru seharusnya merepresentasikan integrasi Timur ke dalam Kekaisaran Romawi secara keseluruhan, sebagai suatu pusat pembelajaran, kemakmuran, dan pelestarian budaya bagi keseluruhan Kekaisaran Romawi Timur.[206] Di antara beragam lokasi yang dikemukakan sebagai ibu kota alternatif tersebut, sepertinya Konstantinus telah memikirkan mengenai Serdica (sekarang Sofia), sebab ia dilaporkan mengatakan bahwa "Serdica adalah Romaku".[207] Sirmium dan Tesalonika juga dipertimbangkan.[208] Namun, pada akhirnya Konstantinus memutuskan kota Yunani Bizantium, yang pada abad sebelumnya telah dibangun kembali secara ekstensif sesuai pola urbanisme Romawi oleh Septimius Severus dan Caracalla, yang telah mengetahui arti penting strategisnya.[209] Kota tersebut kemudian didirikan pada tahun 324,[210] didedikasikan pada tanggal 11 Mei 330[210] dan namanya diganti menjadi Konstantinopolis ("Kota Konstantinus" atau Konstantinopel). Koin-koin peringatan khusus dikeluarkan pada tahun 330 untuk menghormati peristiwa tersebut. Kota baru itu ditempatkan dalam perlindungan relikui Salib Sejati, Tiang Musa, dan relikui suci lainnya, meskipun terdapat sebuah kameo di Museum Ermitáž yang juga merepresentasikan Konstantinus dimahkotai oleh tikhe kota baru itu.[211] Figur-figur dewa-dewi lama diganti atau diasimilasikan ke dalam suatu bingkai simbolisme Kristiani. Konstantinus membangun Gereja Rasul Suci di lokasi bekas kuil Afrodit. Di kemudian hari terdapat kisah bahwa suatu penglihatan ilahi membawa Konstantinus ke tempat ini, dan seorang malaikat yang tidak dapat dilihat orang lain, membawanya menyusuri jalan yang melingkari tembok baru tersebut. Ibu kota ini sering dibandingkan dengan Roma 'lama' sebagai Nova Roma Constantinopolitana, "Roma Baru Konstantinopel".[205][212]

Konstantinus adalah kaisar pertama yang menghentikan penganiayaan terhadap umat Kristiani, serta melegalkan Kekristenan bersama dengan semua kultus dan agama lainnya di Kekaisaran Romawi.

Pada bulan Februari 313, Konstantinus bertemu dengan Lisinius di Milan, tempat mereka menyusun Maklumat Milan. Maklumat tersebut menyatakan bahwa umat Kristiani harus diizinkan untuk menjalankan praktik keimanan mereka tanpa penindasan.[213] Hukuman karena mengimani Kekristenan, yang telah membuat banyak dari mereka wafat sebagai martir, dihapuskan, dan properti Gereja yang sebelumnya disita dikembalikan. Maklumat tersebut tidak hanya melindungi umat Kristiani dari penganiayaan keagamaan, tetapi juga penganut agama yang lain, sehingga mengizinkan semua orang untuk beribadah kepada Tuhan ataupun ilah pilihan mereka. Maklumat serupa sebelumnya dikeluarkan pada tahun 311 oleh Galerius, kaisar senior dalam Tetrarki; maklumat Galerius memberikan hak kepada umat Kristiani untuk mempraktikkan agama mereka, tetapi tidak mengembalikan properti mereka.[214] Maklumat Milan memuat beberapa klausul yang menyatakan bahwa semua bangunan gereja yang disita akan dikembalikan bersama dengan properti lain milik umat Kristiani yang sebelumnya mengalami penindasan.

Para akademisi berdebat seputar apakah Konstantinus mengadopsi Kekristenan sejak kecil dari St. Helena ibunya, atau apakah ia mengadopsinya secara bertahap seiring perjalanan hidupnya.[215] Konstantinus mungkin mempertahankan gelar pontifex maximus, suatu gelar yang diberikan kepada kaisar sebagai kepala imam agama Romawi kuno hingga Gratianus (memerintah tahun 375–383) memutuskan untuk meninggalkan gelar tersebut.[216][217] Menurut para penulis Kristiani, Konstantinus telah berusia lebih dari 40 tahun ketika ia menyatakan diri bahwa ia adalah seorang Kristiani, menulis kepada umat Kristiani untuk menjelaskan bahwa ia percaya kalau kesuksesannya semata-mata karena perlindungan Allah Kristiani.[218] Sepanjang pemerintahannya, Konstantinus mendukung Gereja secara finansial, membangun basilika-basilika, memberikan hak-hak istimewa kepada kaum klerus (misalnya pembebasan dari pajak tertentu), mempromosikan umat Kristiani ke jabatan tinggi, dan mengembalikan properti yang disita selama masa penganiayaan Diokletianus.[219] Proyek bangunan paling terkenal yang ia prakarsai misalnya Gereja Makam Kudus dan Basilika Santo Petrus Lama.

Tampaknya Konstantinus tidak hanya mendukung Kekristenan saja. Setelah meraih kemenangan dalam Pertempuran Jembatan Milvius (312), suatu pelengkung kemenangan—Pelengkung Konstantinus—dibangun (315) untuk merayakan kemenangannya. Pelengkung tersebut dihiasi dengan citra dewi Viktoria. Pada saat dedikasinya, dilakukan pengurbanan-pengurbanan kepada dewa-dewi seperti Apollo, Diana, dan Herkules. Tidak ada penggambaran simbolisme Kristiani pada Pelengkung tersebut. Bagaimanapun, karena pembangunannya ditugaskan oleh Senat, ketiadaan simbol-simbol Kristiani kemungkinan mencerminkan peranan Senat pada saat itu sebagai salah satu kubu pagan.[220]

Pada tahun 321, ia mengesahkan bahwa hari matahari yang terhormat harus menjadi suatu hari istirahat bagi seluruh warga kekaisaran.[221] Pada tahun 323, ia mengeluarkan suatu dekret yang membebaskan keharusan bagi umat Kristiani untuk berpartisipasi dalam acara pengurbanan imperial.[222] Selanjutnya, koin Konstantinus tetap memuat simbol-simbol matahari. Setelah dewa pagan dihilangkan dari koinnya, simbol-simbol Kristiani tampil sebagai atribut Konstantinus: khi rho di antara kedua tangannya atau di labarumnya,[223] serta di koin itu sendiri.[224]

Pemerintahan Konstantinus membentuk suatu preseden terhadap posisi kaisar yang memiliki pengaruh besar dan otoritas sipil tertinggi di dalam diskusi keagamaan yang melibatkan beberapa konsili Kristiani pada saat itu, terutama perselisihan seputar Arianisme. Konstantinus sendiri tidak menyukai risiko yang berdampak pada stabilitas sosial yang disebabkan oleh perselisihan keagamaan, dan lebih berharap untuk membangun suatu ortodoksi sejauh memungkinkan.[225] Pengaruhnya atas konsili-konsili Gereja perdana adalah menegakkan doktrin, menyingkirkan bidah, dan mendukung persatuan gerejawi; mengenai ibadah, doktrin, maupun dogma yang tercakup merupakan wewenang Gereja untuk menetapkannya, di tangan para uskup yang berpartisipasi di dalam konsili.[226]

Peristiwa paling terkemuka, dari tahun 313 sampai 316, para uskup di Afrika Utara bergulat dengan uskup-uskup Kristiani lainnya yang telah ditahbiskan oleh Donatus untuk menentang Sesilianus. Para uskup Afrika tidak dapat meraih kesepakatan dan kaum Donatis meminta Konstantinus untuk bertindak sebagai hakim dalam perselisihan tersebut. Tiga konsili regional Gereja dan suatu percobaan lain telah dilakukan sebelum Konstantinus memutuskan untuk melawan Donatus dan gerakan Donatisme di Afrika Utara. Pada tahun 317, Konstantinus mengeluarkan suatu maklumat untuk menyita properti gereja milik kaum Donatis dan mengirim klerus Donatis ke pengasingan.[227] Peristiwa yang lebih penting, pada tahun 325, ia menghimpun para uskup dalam Konsili Nicea, yang secara efektif merupakan Konsili Ekumenis pertama (kecuali Konsili Yerusalem juga diklasifikasikan demikian). Konsili tersebut umumnya dikenal karena menyelesaikan permasalahan dengan Arianisme dan melembagakan Pengakuan Iman Nicea.

Konstantinus memberlakukan ketetapan dalam Konsili Nicea I yang melarang perayaan Perjamuan Tuhan pada hari sebelum Paskah Yahudi (14 Nisan) (lih. Kuartodesimanisme dan kontroversi Paskah). Hal ini menandai secara definitif pemisahan Kekristenan dari tradisi Yahudi. Sejak saat itu Kalender Julian Romawi, suatu kalender matahari, diprioritaskan di atas Kalender Ibrani suryacandra di antara gereja-gereja Kristiani di Kekaisaran Romawi.[228]

Konstantinus membuat beberapa undang-undang baru terkait kaum Yahudi, tetapi meskipun beberapa maklumat yang dikeluarkannya tidak menguntungkan mereka, undang-undang itu lebih lunak daripada para pendahulunya.[229] Adalah pelanggaran hukum jika kaum Yahudi mencari penganut ataupun menyerang orang Yahudi lain yang telah menganut Kekristenan.[229] Mereka dilarang memiliki budak dari kaum Kristiani ataupun mengkhitan budak mereka.[230][231] Di sisi lain, klerus Yahudi mendapatkan pengecualian-pengecualian yang sama seperti klerus Kristiani.[229][232]

Eksekusi Krispus dan Fausta

Pada suatu waktu antara tanggal 15 Mei dan 17 Juni 326, Konstantinus menangkap Krispus, putra sulungnya dari Minervina, dan membunuhnya dengan menggunakan "racun dingin" di Pola (Pula, Kroasia).[248] Pada bulan Juli, Konstantinus membunuh Maharani Fausta istrinya dengan menempatkannya dalam sebuah tempat mandi yang panasnya berlebihan.[249] Nama-nama mereka dihapus dari permukaan banyak inskripsi, referensi kehidupan mereka dalam catatan literer dihapuskan, dan kenangan atas keduanya disingkirkan. Eusebius, misalnya, mengedit pujian bagi Krispus dari salinan-salinan kemudian Historia Ecclesiastica karyanya, dan Vita Constantini karyanya sama sekali tidak menyebutkan Fausta ataupun Krispus.[250] Hanya sedikit sumber kuno yang membahas kemungkinan motif Konstantinus terkait peristiwa-peristiwa tersebut; semua sumber yang ada itu menyajikan alasan-alasan yang tidak meyakinkan dan secara umum tidak dapat diandalkan.[251] Pada saat eksekusi, secara umum diyakini bahwa Maharani Fausta terlibat dalam hubungan terlarang dengan Krispus atau menyebarkan rumor seperti itu. Berkembang suatu mitos populer, dimodifikasi sesuai legenda Hippolitus–Faedra, yang beranggapan bahwa Konstantinus membunuh Krispus dan Fausta karena perilaku amoral mereka.[252] Salah satu sumber, Kisah Sengsara Artemius yang utamanya dipandang sebagai karya fiksi, kemungkinan ditulis pada abad ke-8 oleh Yohanes dari Damaskus, terkait secara eksplisit dengan legenda itu.[253] Sebagai suatu interpretasi atas eksekusi-eksekusi tersebut: legenda itu dianggap hanya bertumpu pada "bukti yang paling tipis": sumber-sumber yang menyinggung hubungan antara Krispus dan Fausta baru ditulis di kemudian hari dan tidak dapat diandalkan, serta pengemukaan modern bahwa maklumat-maklumat "saleh" Konstantinus pada tahun 326 dapat terkait dengan penyimpangan Krispus tidak bersandar pada bukti apapun.[252]

Meskipun Konstantinus menjadikan ahli-ahli warisnya sebagai para "Caesar", mengikuti suatu pola yang dibangun oleh Diokletianus, ia menjadikan mereka suatu karakter turun-temurun, yang asing bagi sistem tetrarki: para Caesar Konstantinus dijaga dengan harapan untuk naik ke Kekaisaran, dan sepenuhnya sebagai subordinasi dari Augustus mereka, sepanjang ia masih hidup.[254] Oleh karenanya, salah satu penjelasan alternatif mengenai eksekusi Krispus adalah, mungkin, keinginan Konstantinus untuk mempertahankan para ahli warisnya yang prospektif, hal ini—dan keinginan Fausta agar yang menjadi pewaris adalah para putranya bukan saudara tiri mereka—dapat menjadi alasan untuk membunuh Krispus; sementara Fausta yang dieksekusi belakangan kemungkinan dimaksudkan sebagai suatu pengingat bagi anak-anaknya bahwa Konstantinus tidak akan ragu-ragu "membunuh keluarganya sendiri ketika ia merasa hal ini diperlukan".[255]

foursquare.com'u kullanabilmek için JavaScript'i etkinleştirmelisin

Mümkün olan en iyi internet deneyimini sunmak için en yeni ve en iyi teknolojileri kullanıyoruz.Lütfen tarayıcı ayarlarından JavaScript'i etkin hale getir.

Akıllı telefonuna Foursquare'i İndir ve dünyayı keşfetmeye başla!

[Kanal Media Unpad] Keluarga besar Universitas Padjadjaran kembali berduka. Salah seorang putra terbaiknya, Prof. Dr. Johan S. Masjhur,dr., SpPD-KEMD, SpKN., meninggal dunia pada usia 81 tahun di RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung, Sabtu (13/5/2023) pukul 01.31.

Prof. Johan S. Masjhur merupakan Guru Besar Emeritus pada Fakultas Kedokteran Unpad. Lahir di Payakumbuh, 28 Februari 1942, almarhum menyelesaikan studi Sarjana Kedokteran di FK Unpad pada 1968. Kemudian dilanjutkan ke jenjang Program Spesialis Penyakit Dalam FK Unpad lulus pada 1976 serta Program Doktor Ilmu Kedokteran FK Unpad dan Kedokteran Nuklir di Asia School of Nuclear Medicine pada 1993.

Kedokteran nuklir merupakan bidang kepakaran dari almarhum Prof. Johan S. Masjhur. Pada pidato purnabaktinya yang disampaikan pada 26 April 2013, Prof. Johan menyampaikan bahwa kedokteran nuklir merupakan cabang ilmu kedokteran yang dihasilkan dari hasil pemikiran dan temuan para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, seperti biologi, fisika, kimia, farmasi, teknik rekayasa dan mikroelektronika serta ilmu kedokteran itu sendiri.

“Melalui kedokteran nuklir, dapat dievaluasi suatu penyakit pada tingkat molekul, memprediksi jalannya penyakit, membantu merancang pengobatan yang spesifik, memantau khasiatnya, serta melakukan penyesuaian apabila pengobatan tersebut tidak efektif,” ujarnya.

Almarhum Prof. Johan S. Masjhur pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Ilmu Kedokteran Nuklir FK Unpad/RSHS 1980-2006, Ketua Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Nuklir FK Unpad/RSHS 1999-2007, Ketua Kolegium Ilmu Kedokteran Nuklir FK Unpad/RSHS 2000-2006, Ketua Lembaga Penelitian Unpad 1999-2007, serta Sekretaris Senat Unpad 2007-2011.

Di luar Unpad, Prof. Johan pernah menjabat sebagai Vice President Asia Oceania Thyroid Association (AOTA) pada 2010-2015.

Hingga akhir hayatnya, almarhum masih menguji tesis pada Program Spesialis Ilmu Kedokteran Nuklir FK Unpad serta masih melakukan riset di bidang kelenjar tiroid.

Almarhum Prof. Johan S. Masjhur mendapat penghormatan terakhir melalui upacara yang digelar di Masjid Al-Jihad Unpad Kampus Iwa Koesoemasoemantri, Bandung, Sabtu (13/5/2023) siang. Almarhum dilepas secara resmi oleh Rektor Unpad Prof. Rina Indiastuti.

“Universitas Padjadjaran menyampaikan duta cita mendalam. Beliau adalah sosok luar biasa dan berjasa bagi Unpad,” kata Rektor.

Usai mendapat penghormatan, almarhum langsung diberangkatkan ke TPU Cibarunai Kota Bandung.*

Reformasi administratif

Sejak pertengahan abad ke-3, para kaisar mulai lebih memilih anggota ordo ekuestrian daripada senator, yang telah memonopoli jabatan-jabatan imperial terpenting. Para senator dicopot dari komando legiun-legiun dan sebagian besar jabatan gubernur provinsi (sebab mereka dirasa tidak memiliki pendidikan militer khusus di tengah kebutuhan pertahanan yang mendesak[234]), posisi-posisi tersebut diberikan kepada para ekuestrian oleh Diokletianus dan kolega-koleganya—mengikuti praktik yang diterapkan sedikit demi sedikit oleh para pendahulu mereka. Bagaimanapun, para kaisar itu tetap membutuhkan talenta dan bantuan dari yang kaya raya, yang diandalkan untuk memelihara tatanan sosial dan kepaduan dengan menggunakan suatu jaringan pengaruh yang kuat dan kontak di semua tingkatan. Pengecualian pada aristokrasi senatorial lama mengancam pengaturan ini.

Pada tahun 326, Konstantinus membalikkan tren pro-ekuestrian tersebut, mengangkat banyak posisi adminstratif ke pangkat senatorial dan dengan demikian membuka jabatan-jabatan ini bagi aristokrasi lama. Pada saat yang sama ia mengangkat pangkat para pemegang jabatan ekuestrian yang telah ada menjadi senator, mendegradasi ordo ekuestrian—setidaknya sebagai suatu pangkat birokratis[235]—dalam prosesnya, sehingga pada akhir abad ke-4 gelar perfectissimus hanya diberikan kepada para pejabat menengah ke bawah.

Dengan pengaturan baru yang dilakukan Konstantinus itu, seseorang dapat menjadi senator baik dengan terpilih sebagai pretor ataupun (dalam kebanyakan kasus) dengan mengisi salah satu fungsi dalam peringkat senatorial:[236] sejak saat itu, memegang kekuasaan yang sesungguhnya dan status sosial dilebur bersama ke dalam suatu hierarki imperial gabungan. Pada saat yang sama, bersamaan dengan hal itu, Konstantinus mendapatkan dukungan bangsawan lama,[237] karena Senat dapat memilih para pretor dan kuestor, sebagai ganti praktik yang lazim dari para kaisar yang secara langsung menciptakan magistrat (adlectio) baru. Dalam suatu inskripsi untuk menghormati prefek kota (336–337) Ceionius Rufus Albinus, tertulis bahwa Konstantinus memulihkan "auctoritas [Senat] yang telah hilang pada zaman Caesar".[238]

Senat sebagai suatu badan tetap tidak memiliki kekuasaan yang signifikan; namun demikian, para senator, yang sepanjang abad ke-3 telah terpinggirkan sebagai orang-orang yang berpotensi memegang fungsi imperial, sekarang dapat menentang posisi-posisi tersebut bersama dengan para birokrat yang lebih baru diangkat.[239] Beberapa sejarawan modern memandang bahwa dalam reformasi administratif ini terdapat suatu upaya oleh Konstantinus untuk mengintegrasikan kembali tatanan senatorial ke dalam elite administratif imperial untuk menangkal kemungkinan keterasingan senator-senator pagan dari Kristenisasi peraturan imperial;[240] namun, penafsiran seperti demikian tetap berupa dugaan, mengingat fakta bahwa tidak ada angka pasti mereka yang pindah keyakinan ke Kristiani di dalam lingkungan senatorial lama—beberapa sejarawan mengemukakan bahwa konversi awal dalam aristokrasi lama lebih banyak dari dugaan sebelumnya.[241]

Reformasi Konstantinus hanya seputar pemerintahan sipil: para pimpinan militer, yang sejak Krisis Abad Ketiga telah diangkat sebagai perwira,[242] tetap berada di luar senat, dan mereka baru disertakan oleh anak-anak Konstantinus.[243]

Setelah inflasi tak terkendali pada abad ketiga, terkait dengan produksi uang fiat untuk membiayai pengeluaran publik, Diokletianus telah berupaya membangun kembali kepercayaan publik dengan mencetak koin perak maupun bilon. Namun, upaya-upaya yang ia lakukan menemui kegagalan karena pada kenyataannya mata uang perak tersebut dinilai terlalu tinggi dibandingkan kandungan logam yang sebenarnya, dan oleh sebab itu hanya dapat beredar dengan tingkat diskonto besar. Karenanya pencetakan argenteus perak "murni" tersebut dihentikan tidak lama setelah tahun 305, sedangkan mata uang bilon terus digunakan sampai tahun 360-an. Sejak tahun 300-an, Konstantinus meninggalkan upaya apapun untuk memulihkan mata uang perak, dan lebih memilih untuk berkonsentrasi pada pencetakan keping emas (solidus) standar yang baik dalam jumlah besar, 72 kepingnya setara dengan satu pon emas. Keping-keping perak baru (dengan nilai sangat rendah) terus dikeluarkan selama pemerintahan Konstantinus kemudian dan setelah wafatnya. Proses penarifan ulang atasnya dilakukan secara berkesinambungan hingga pencetakan emas batangan tersebut dihentikan secara de jure pada tahun 367, dan kepingan perak ini secara de facto dilanjutkan oleh beragam denominasi koin perunggu, yang paling penting yaitu centenionalis.[244] Kepingan perunggu ini terus didevaluasi, untuk mempertahankan pencetakan demi menjaga kepercayaan di samping suatu standar emas. Penulis anonim dari De Rebus Bellicis, yang kemungkinan adalah risalah kontemporer tentang militer, menyatakan bahwa, sebagai suatu konsekuensi dari kebijakan moneter ini, kesenjangan antar kelas semakin melebar: orang kaya diuntungkan karena stabilitas daya beli kepingan emas, sementara orang miskin harus berhadapan dengan kepingan perunggu yang terus turun nilainya.[245] Kaisar-kaisar di kemudian hari seperti Yulianus yang Murtad berupaya untuk menampilkan diri mereka sebagai penolong kaum humiles dengan memaksakan pencetakan mata uang perunggu yang dapat dipercaya.[246]

Kebijakan moneter Konstantinus terkait erat dengan kebijakan keagamaannya. Meningkatnya pencetakan tersebut dikaitkan tindakan-tindakan penyitaan—sejak tahun 331 sampai 336—semua patung emas, perak, dan perunggu dari kuil-kuil pagan, yang ia nyatakan sebagai properti imperial dan dengan demikian sebagai aset moneter. Dua komisaris imperial untuk masing-masing provinsi diberi tugas untuk mendapatkan patung-patung tersebut dan meleburnya untuk dicetak menjadi koin—dengan pengecualian sejumlah patung perunggu yang digunakan sebagai monumen-monumen publik untuk memperindah ibu kota baru di Konstantinopel.[247]

Historia karya Geoffrey dari Monmouth

Pada Abad Pertengahan, kaum Briton memandang Konstantinus sebagai seorang raja dari kaum mereka sendiri, secara khusus mengaitkannya dengan Caernarfon di Gwynedd. Meskipun sebagian dari hal ini merupakan dampak dari ketenaran dan proklamasi dirinya sebagai Kaisar di Britania, terdapat juga kesimpangsiuran mengenai hubungan keluarga antara dia dengan Santa Elen (diduga adalah istri Magnus Maximus) dan putranya, Konstantinus yang lain (bahasa Wales: Custennin). Pada abad ke-12, Henry dari Huntingdon menyertakan suatu bagian dalam Historia Anglorum karyanya yang menyatakan bahwa ibu kaisar Konstantinus adalah orang Briton dan putri Raja Cole dari Colchester.[305] Geoffrey dari Monmouth mengembangkan cerita tersebut dalam Historia Regum Britanniae karyanya yang sangat fiksional, yang memuat laporan tentang mereka yang diduga sebagai Raja-Raja Britania dari asal muasal Troya mereka sampai invasi Anglo-Sachsen.[306] Menurut Geoffrey, Cole adalah Raja kaum Briton ketika Konstantius, sebagai seorang senator, datang ke Britania. Karena khawatir dengan kaum Romawi, Cole tunduk pada hukum Romawi selama ia menjabat sebagai raja. Namun, ia wafat sebulan kemudian, dan Konstantius naik ke takhtanya, menikahi putri Cole, Helena. Putra mereka, Konstantinus, menggantikan ayahnya sebagai Raja Britania sebelum menjadi Kaisar Romawi.

Secara historis, rangkaian peristiwa tersebut tampak sangat mustahil. Konstantius telah meninggalkan Helena pada saat ia berangkat menuju Britania.[41] Selain itu, tidak ada sumber yang lebih awal yang menyebutkan bahwa Helena lahir di Britania, apalagi menyebutkan bahwa ia adalah seorang putri raja. Sumber yang digunakan Henry untuk menulis cerita tersebut tidak diketahui, meskipun mungkin saja berasal dari sebuah hagiografi Helena yang telah hilang.[306]

Dokumenter-dokumenter mengenai Konstantinus misalnya: "From Jesus To Christ: The First Christians" (Bagian 12) yang ditayangkan oleh PBS[307] dan "Ancient Roads from Christ to Constantine" (Episode 6 Constantine) yang diproduksi oleh Hector Galan.[308]

Esai dari The Cambridge Companion to the Age of Constantine ditandai dengan "(CC)".